![]() |
Foto: ANTARA FOTO |
JAKARTA (Kliik.id) - Kinerja keuangan BUMN karya tengah menjadi sorotan, termasuk oleh mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Laporan keuangan keuangan mereka semakin memburuk.
Memang jika dilihat dari laporan keuangan seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk perusahaan mengalami rugi bersih hingga Rp 7,3 triliun di 2020. Padahal di 2019 perusahaan berhasil mengantongi laba bersih Rp 938 miliar.
Wijaya Karya juga sama, meski tidak menderita kerugian, namun laba bersih perusahaan turun begitu dalam sampai 91%. Pendapatan juga turun 39%.
PTPP juga mengalami penurunan laba bersih yang begitu dalam hingga 84%. Sementara Adhi Karya, Hutama Karya dan BUMN karya lain belum hingga saat ini belum melaporkan kinerja keuangannya di 2020.
Berikut catatan dari laporan keuangan para BUMN karya:
1. Waskita Karya
Pendapatan: Turun 48%, Rp 31,39 triliun (2019) vs Rp 16,19 triliun (2020)
Laba: Untung Rp 938,14 miliar (2019) vs rugi Rp 7,38 triliun
Liabilitas: Rp 93,47 triliun (2019) vs Rp 89,01 triliun (2020)
Aset: Rp 122,59 triliun (2019) vs Rp 105 triliun (2020)
2. Wijaya Karya
Pendapatan: Turun 39%, Rp 27,21 triliun (2019) vs Rp 16,54 triliun (2020)
Laba: Turun 91,87%, Rp 2,28 triliun (2019) vs Rp 185,76 miliar (2020)
Liabilitas: Rp 42,89 triliun (2019) vs Rp 51,45 triliun (2020)
Aset: Rp 62,11 triliun (2019) vs Rp 68,11 triliun (2020)
3. PTPP
Pendapatan: Turun 32%, Rp 23,57 triliun (2019) vs Rp 15,83 triliun (2020)
Laba: Turun 84%, Rp 819,49 miliar (2019) vs Rp 128,7 miliar (2020)
Liabilitas: Rp 41,12 triliun (2019) vs Rp 39,46 triliun (2020)
Aset: Rp 56,13 triliun (2019) vs Rp 53,47 triliun (2020)
Menurut Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira penyebab keuangan BUMN karya semakin terpuruk adalah penugasan proyek pemerintah dan asumsi awal yang tidak sesuai.
"Penugasan itu sangat berat apalagi salah asumsi karena selalu pada saat uji kelayakan modelnya optimistis. Ekonomi tumbuh 7-8% kemudian akan terjadi kenaikan permintaan industri dan daya beli masyarakat," tuturnya kepada wartawan, Minggu (4/4/2021).
Padahal, lanjut Bhima, sebelum pandemi saja inflasi rendah karena permintaan tertekan. Lalu ekonomi hanya tumbuh 5% tidak sesuai proyeksi awal, sehingga tol yang dibangun memiliki utilisasi yang rendah karena aktivitas logistik yang juga rendah.
Sementara menurut Dahlan penyebab merosotnya kinerja keuangan BUMN karya tidak lain karena pekerjaan infrastruktur yang begitu besar beberapa tahun terakhir.
"Sebagian BUMN infrastruktur ngeri dengan besarnya modal yang harus disiapkan. Mereka memilih jadi kontraktor saja. Tapi ada BUMN yang ambisius sekali, memiliki tol itu sekaligus mengerjakannya. Uang bisa dicari kata mereka," tulis Dahlan dalam laman pribadinya Disway.
Sekuat-kuatnya perusahaan bahkan BUMN sekalipun, tentu membutuhkan sumber dana dari pihak ketiga untuk membangun infrastruktur. Sementara bank yang juga menjadi sumber pendanaan ada batasan peraturan dalam pemberian kredit kepada satu grup perusahaan.
Ketika perusahaan sudah tidak bisa pinjam ke bank, maka perusahaan bergantung pada penerbitan surat utang seperti obligasi. Namun tentu investor cermat melihat perusahaan yang menerbitkan obligasi yang memang masih memiliki kemampuan pinjam ke bank ataupun yang sudah kepepet, sehingga pemilik dana obligasi bisa menetapkan bunga yang tinggi.
Sementara obligasi ini memiliki masa waktu jatuh tempo. Jika perusahaan tak mampu membayar, maka pilihan lainnya adalah kembali menerbitkan obligasi baru.
"Perkiraan saya, merosotnya kinerja keuangan mereka sebagian besar akibat kemakan bunga tinggi," kata Dahlan.
Menurut Bhima para BUMN karya kecil kemungkinan akan bangkrut jika kondisi tersebut berlanjut. Sebab proyek-proyek infrastruktur yang dikerjakan mereka juga dijamin negara.
"Masalah akan muncul ketika risiko kontinjensi membesar, di mana ujungnya APBN dari pajak rakyat akan dipakai untuk talangi BUMN atau proyek yang bermasalah," tuturnya.
Sebagai perusahaan milik negara, tenu BUMN yang menghadapi masalah akan dibantu negara, salah satunya menggunakan APBN.
Namun kata Bhima hal itu menimbulkan risiko kontinjensi.
Risiko kontinjensi akan menjalar menjadi masalah baru. Salah satunya menurunkan kepercayaan investor untuk membeli surat utang pemerintah.
Selain itu risiko kontinjensi juga akan menjadi beban fiskal. Anggaran pemerintah yang tadinya dialokasikan untuk belanja darurat seperti belanja kesehatan, perlindungan sosial hingga transfer daerah akan terbagi untuk menalangi dulu bumn yang bermasalah.
"BUMN-nya sendiri pun bisa kesulitan dapat pinjaman baru, sementara cash flow tertekan dan proyek yang sedang berjalan bisa macet. OECD sudah peringatkan sejak 2018 lalu bahwa hati-hati BUMN bisa timbulkan risiko ke fiskal," terangnya.
(Detik)