Bhante Jinadhammo. |
Dikutip dari Buddhazine.com, pada tanggal 5 Desember 2016 lalu, Bhante Jinadhammo mendapat anugerah gelar kehormatan dari Kerajaan Thailand sebagai Than Choukun Phra Vithet Dhammanyana.
Gelar kehormatan ini diberikan kepada Bhante Jinadhammo atas pengabdiannya membabarkan Buddha Dhamma di Indonesia.
Saat ini, Bhante Jinadhammo merupakan bhikkhu Theravada paling senior di Indonesia, yaitu telah melewati 53 masa vassa.
Bhante Jinadhammo sangat disayang dan dihormati oleh umat Buddha, terlebih di Sumatera, tempat di mana ia selama ini banyak mengabdi.
Ia dikagumi umat Buddha bukan saja karena kesederhanaan hidupnya tetapi juga keteguhan prinsipnya.
Eyang, sapaan akrabnya, lahir di Desa Gempok, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada tanggal 3 September 1944, dengan nama kecil Sunardi. Ayahnya, Adma M dan ibunya, Sadiem, bukanlah Buddhis.
Sunardi kecil adalah sosok anak yang sering sakit-sakitan. Ditambah lagi dengan kondisi negara yang baru saja merdeka, memaksa keluarga Sunardi untuk selalu berpindah-pindah ke berbagai pelosok di daerah Jawa.
Meski berasal dari keluarga susah, Sunardi tetap bisa menamatkan Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar), dan ia melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu SMP.
Dari kecil, semangat belajar Sunardi cukup tinggi. Untuk menambah uang saku, sepulang sekolah ia bekerja sebagai tukang cukur rambut.
Sunardi sangat menyukai wayang kulit. Ia betah menonton pagelaran wayang kulit semalam suntuk dan tentunya sampai hafal dengan lakon dan tokoh wayangnya.
"Bhante Jinadhammo itu menguasai sekali masalah pewayangan," ujar Rudiyanto Tan, pimpinan redaksi majalah Dhammavira yang pernah membahas tentang pewayangan dengannya.
Agama Buddha mulai dikenal Sunardi saat ia bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan, yang tak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
Diam-diam ia penasaran dengan kemegahan candi tersebut, ia takjub dengan ukiran-ukiran relief dan patung.
Pertanyaan itu terjawab ketika Sunardi membaca majalah Mutiara Minggu yang memuat tentang agama-agama besar di Indonesia.
Sunardi tertarik sekali dengan agama Buddha, dan sejak itulah ia rutin mempelajari agama Buddha melalui majalah yang sederhana tersebut.
Tertarik dengan agama Buddha, akhirnya Sunardi bertemu dengan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Bandung. Dari Bhikkhu Ashin, Sunardi giat mempelajari paritta-paritta suci dan Buddha Dhamma secara mendalam.
Dalam waktu singkat ia mampu menguasai paritta-paritta tersebut, sehingga ia dipilih sebagai pemimpin kebaktian untuk mahasiswa-mahasiswi di Vihara Vimala Dharma, Bandung, awal tahun 1960.
Hal ini pula yang membawa Sunardi bergabung dalam organisasi agama Buddha di Bandung pada tahun 1960.
Sunardi kemudian ditunjuk oleh Bhante Ashin untuk mendampinginya mengembangkan agama Buddha baik di Pulau Jawa, atau bahkan di seluruh Indonesia.
Dan ini suatu kebanggaan tersendiri pada masa itu, karena siapa yang bisa terpilih sebagai upasaka Bhikkhu Ashin, merupakan hal yang sangat jarang terjadi.
Setelah satu tahun di Kota Kembang ini, Sunardi ditugaskan oleh Bhikkhu Ashin untuk mengembangkan Buddha Dhamma di wilayah Sumatera, khususnya Kota Medan, Padang, dan Pekanbaru.
Sunardi di-visuddhi menjadi upasaka di Pekanbaru oleh Bhante Ashin setelah tiga tahun mengabdi.
Sunardi banyak sekali belajar Buddha Dhamma pada Bhante Ashin.
Ia juga kerap mengikuti pelatihan diri dengan disiplin yang ketat dan keras di bawah bimbingan Bhante Ashin.
Bhante Ashin sering mendorong Sunardi agar mau menjadi bhikkhu, namun Sunardi mengaku belum bersedia. Setelah enam tahun dibujuk, akhirnya Sunardi pun bersedia.
Ketika itu Bhante Ashin berkata kepada Sunardi, "Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto? Mengapa bukan Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha?Mengapa saya yang menjadi bhikkhu? Itu karena saya membayar hutang,".
Kata-kata Bhante Ashin berhasil menggugah hati Sunardi untuk menjadi bhikkhu. Dan ia mendapat restu dari orangtua dan saudaranya. Sunardi ditahbiskan menjadi samanera oleh Bhante Ashin dengan nama Samanera Dhammasushiyo.
Pada saat menjadi samanera, Bhante Ashin berkata kepadanya, "Kamu sebenarnya sudah terpilih menjadi bhikkhu yang mengembang tugas untuk perkembangan Buddha Dhamma,".
Selang beberapa waktu kemudian, Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi bhikkhu.
Bersama empat samanera lain, Samanera Dhammasushiyo ditahbis menjadi Bhikkhu Jinadhammo di Candi Borobudur, tepat pada hari Waisak tanggal 9 Mei 1970, pukul 14.00 WIB.
Guru yang menahbiskan adalah Ven. Chaukun Sasana Sobhana, wakil Sangharaja Thailand waktu itu yang kemudian menjadi Sangharaja.
Bhante Jinadhammo kemudian memperdalam agama Buddha di Wat Bovoranives, Bangkok, Thailand.
Ia mengkhususkan pada pelajaran Vinaya dan berlatih meditasi pada para bhikkhu yang telah ahli. Ia juga pernah belajar meditasi pada guru meditasi termasyhur, Ajahn Boowa di vihara hutan di Udonthani.
Bhante Jin belajar di Thailand selama tiga tahun.
Sekembalinya ke Indonesia, Bhante Ashin sebagai pimpinan Sangha menugaskan Bhante Jinadhammo ke Sumatera untuk membina Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan Padang.
Bhante Jinadhammo menetap di Vihara Borobudur, Kota Medan.
Pada tahun 1970-an itu, masih sedikit sekali vihara dan cetiya. Seiring perjalanan waktu dan pengabdian Bhante Jinadhammo, mulai banyak berdiri vihara dan cetiya.
Bhante Jinadhammo sering diminta mengirim tenaga pengajar agama Buddha, baik di vihara ataupun sekolah.
Karena keterbatasan tenaga pengajar, Bhante Jinadhammo mendatangkan tenaga-tenaga pengajar agama Buddha dari Pulau Jawa.
Guru-guru agama Buddha tersebut diangkat menjadi upasaka pandita oleh Bhante Jinadhammo agar dapat memberikan pelayanan kepada umat mewakili Sangha.
"Setiap orang punya kepintaran, tapi kepintaran itu tidak bekerja sendiri-sendiri. Kita harus saling mengisi dan dapat bekerjasama," ujar Bhante Jinadhammo pada suatu kesempatan.
Pengabdian Bhante Jinadhammo yang tiada henti terutama di Sumatera kini telah berbuah manis. Agama Buddha tumbuh luas di Sumatera. (Rls)