Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (detikcom) |
"Defisit 2022 ditutup dengan Rp 464,3 triliun. Ini kalau dibandingkan APBN awal yaitu Rp 868 triliun, atau di Perpres 98 di mana defisitnya dicantumkan Rp 840,2 triliun, angka Rp 464,3 triliun ini jauh lebih rendah hampir separuhnya," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA, Selasa (3/1/2023).
Defisit APBN ini berarti pendapatan lebih kecil dibanding jumlah pengeluaran pemerintah. Sampai Desember 2022, pendapatan negara mencapai Rp 2.626,4 triliun atau tumbuh 30,6%, sedangkan belanja negara mencapai Rp 3.090,8 triliun atau tumbuh 10,9%.
Lebih rinci dijelaskan pendapatan negara dari penerimaan pajak mencapai Rp 1.716,8 triliun atau tumbuh 34,3%, kepabeanan dan cukai Rp 317,8 triliun atau tumbuh 18%, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tembus Rp 588,3 triliun atau tumbuh 28,3%.
Untuk belanja negara, terdiri dari belanja kementerian dan lembaga (K/L) Rp 1.079,3 triliun atau tumbuh 9,4%, belanja non KL Rp 1.195,2 triliun atau tumbuh 47,6%, dan transfer ke daerah (TKD) Rp 816,2 triliun atau tumbuh 3,9%.
"Jadi belanja negara melonjak atau meningkat dan kenaikannya terutama terjadi pada belanja untuk perlindungan pada masyarakat dalam bentuk subsidi, kompensasi dan berbagai bantuan sosial. Ini lah yang kita sebut APBN sebagai shock absorber," tuturnya.
Keseimbangan primer tercatat turun drastis dengan defisit Rp 78 triliun dan realisasi pembiayaan anggaran lebih rendah 33,1% atau mencapai Rp 583,5 triliun.
"Ini menggambarkan APBN segera akan menyehatkan diri untuk kita selalu siap dalam menjaga perekonomian dan masyarakat," tutur Sri Mulyani.
Sebagai catatan, realisasi APBN ini masih bersifat sementara dan masih bisa berubah karena belum diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (Detik)