Ilustrasi Gedung KPK |
Medan (Kliik.Id) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka dugaan suap terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terkait proses Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku, dimana Harun Masiku kini masih dalam status buron. Penetapan tersebut dilakukan melalui Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024.
Dalam keterangan persnya, KPK melalui Ketua KPK, Setyo
Budiyanto, pada Selasa kemarin, (24/12/2024), menyebutkan adanya bukti
keterlibatan Hasto yang ditemukan oleh penyidik dalam perkara ini.
Terkait dengan perkara tersebut, pengamat hukum, Pardomuan
Gultom, S.Sos., SH., MH., menilai bahwa KPK telah melanggar asas Ne Bis in Idem
karena perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap.
“Jika kita perhatikan dengan seksama, kalau untuk kasus ini sebenarnya
sudah diputus oleh Pengadilan Tipikor dengan Putusan Nomor28/Pid.SusTPK/2020/PN.Jkt.Pst,
dimana Wahyu Setiawan sebagai terdakwa I dan Agustiani Tio Fridelina sebagai
terdakwa II. Demikian juga dengan banding dengan Putusan Nomor 37/PID.TPK/2020/PT
DKI yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Dan di tingkat kasasi,
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi JPU KPK, namun memberikan
tambahan 1 tahun dari pidana pokok 6 tahun terhadap Wahyu Setiawan. Dari proses
pengadilan ini kita mengetahui bahwa perkara tersebut sudah berkekuatan hukum
tetap atau inkracht,” jelas Pardomuan, Rabu (25/12/2024).
Pengamat yang juga pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
(STIH) Graha Kirana ini juga menegaskan, jika untuk objek perkara yang sama,
yaitu perkara Wahyu Setiawan Cs. dalam kasus suap Harun Masiku, maka berlaku
asas Ne Bis in Idem atau prinsip yang menyatakan bahwa untuk perkara yang sama
tidak dapat diajukan gugatan atau tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua
kalinya karena sudah berkekuatan hukum tetap.
“Kalau untuk objek perkara yang sama, maka KPK tidak dapat mengajukan gugatan atau memeriksa kembali untuk yang kedua kalinya. Prinsip atau asas Ne Bis in Idem berlaku untuk semua. Lantas, publik pasti bertanya-tanya, mengapa nama Hasto Kristyanto dimunculkan belakangan oleh KPK dalam peristiwa hukum yang sama? Sementara, dalam klarifikasi JPU kepada Saeful sebagai pihak yang terlibat pernah mempertanyakan peran Hasto di sidang yang digelar pada tanggal 30 April 2020 yang lalu. Dan hal ini dibantah oleh Saeful. Ini fakta hukum yang muncul di persidangan kemarin. Hasto sebagai Sekjend PDI-P kapasitasnya hanya sebagai pengambil keputusan untuk pembuatan surat permohonan ke KPU. Antara penerbitan surat dengan adanya tindakan suap itu merupakan dua peristiwa yang berbeda. Tidak bisa kita langsung mengambil kesimpulan bahwa kedua hal itu satu kesatuan. Apalagi untuk surat yang ketiga dari DPP PDI-P ke KPU tetap ditolak oleh KPU,” terangnya.
Selain fakta hukum tersebut, tambah Pardomuan, terdapat
fakta hukum lainnya terkait masalah ini, yakni sidang DKPP tanggal 15 Januari
2020 yang tidak ada menyebutkan nama Hasto Kristiyanto sebagai Sekjend PDI-P
terlibat dalam kasus ini.
“Dari Putusan DKPP Nomor: 01-PKE-DKPP/I/2020 yang digelar
pada tanggal 15 Januari 2020, kita bisa lihat duduk perkara dari kasus ini. Tidak
ada ada muncul nama Hasto di sidang tersebut. Artinya, kedua fakta hukum ini,
yakni putusan Pengadilan Tipikor yang sudah inkracht dan putusan DKPP, kita
dapat menyimpulkan bahwa tidak ada keterlibatan Hasto Kristiyanto dalam pusaran
kasus Harun Masiku. Terkait hal ini, Sprindik KPK yang mentersangkakan Hasto
bisa diuji di Pra-peradilan dengan dua fakta hukum yang saya sebutkan tadi,”
tandasnya. (ril)